Selasa, 12 Juni 2012

Peranan Pancasila Sebagai Etika Politik Bangsa




Peranan Pancasila
 Sebagai Etika Politik Bangsa
Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah  Pendidikan Pancasila









disusun oleh


Hendra Rusdiawan                                
(11144100151)




                
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2012


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila yang membahas tentang “Pancasila sebagai Sistem Etika Politik”. Terimakasih pula kami ucapkan kepada ibu dosen yang telah memberikan kepercayaan kepada kelompok kami dalam menyelesaikan tugas Pendidikan Pancasila yang mengakaji tentang “Peranan Pancasila Sebagai Etika Politik Bangsa”.
            Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini pada akhirnya. Akhir kata, penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.


Yogyakarta,   09 Juni 2012



                                                                                                      Penulis







ii


DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL                                                                                                i

KATA PENGANTAR                                                                                             ii

DAFTAR ISI                                                                                                           iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang                                                                                        1
B.     Identifikasi Makalah                                                                               2
C.     Batasan Pembahasan                                                                               2
D.    Tujuan dan Manfaat                                                                                2

BAB II  PEMBAHASAN                                                                                       3

BAB III  PENUTUP
A.    Kesimpulan                                                                                           14
B.     Saran                                                                                                     14

DAFTAR PUSTAKA                                                                                            15





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Semenjak Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah menetapkan suatu landasan yang dijadikan dasar yang fundamental untuk mencapai cita-cita bangsa, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Dalam pembukaan UUD 1945, telah ditetapkan dasar Negara Republik Indonesia itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai suatu system filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala sumber. Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasannya masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Etika Politik termasuk dalam filsafat praksis yang isinya mempertanyakan, membahas tanggungjawab dan kewajiban manusia.
            Dalam pelaksanaannya selama Pemerintah Orde Lama, kedudukan Pancasila sebagai Etika Politik Negara diselewengkan penggunaannya. Etika Politik Pancasila diterjemahkan dan diamalkan menurut persepsi dari kepentingan golongannya sendiri. Dengan demikian sering terjadi kekacauan, pemberontakan, korupsi, kolusi dan nepotisme muncul pada oknum-oknum pengguna System Politik  Pancasila yang tidak digunakan sebagaimana mestinya.
            Dalam rangka menyongsong era global diperlukan adanya generasi  yang mantap, baik dari segi lahiriah maupun batiniah. Hal ini mempunyai pengertian untuk memfilter dan menerapkan System Etika Politik yang berdasar pada Pancasila, untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa Pancasilais. Maka dari itu etika bermaksud untuk membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan, karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia untuk mempertanggung jawabkan tindakannya itu karena memang ada alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang kuat atas tindakannya itu.
            Pancasila dikaitkan dengan system etika maka akan memberi jawaban mengenai konsepsi dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan, sebab didalamnya terkandung prinsip terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik.
Etika politik dengan rasa etik tidak lain adalah Etika Pancasila. Pancasila sebagai etika politik bagi bangsa dan Negara Indonesia adalah etika yag dijiwai oleh falsafah Negara yaitu Pancasila

 B.  Identifikasi Makalah
Bertitik tolak dari latar belakang, maka permasalahan yang timbul adalah “Bagaimana Pelaksanaan Pancasila sebagai Etika Politik”.

C.    Batasan Pembahasan
Mengingat Permasalahan Pancasila yang sangat luas dan kompleks, yaitu menyangkut segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar tidak rancu, maka perlu diadakan pembatasan pembahasannya. Adapun batasan pembahasannya adalah:
1.      Pengantar
2.      Pengertian nilai, norma, dan moral
3.      Pengertian Etika
4.      Pancasila sebagai System Etika.
5.      Etika Politik dan Etika Pancasila.
6.      Nilai-nilai Etika dalam Pancasila
7.      Etika dalam Kehidupan Kenegaraan dan Hukum .
8.      Evaluasi Penerapan dalam Kehidupan Kenegaraan.
9.      Etika Kehidupan Berbangsa.

D. Tujuan dan Manfaat
1.      Sebagai salah satu tugas kelompok mata kuliah Pendidikan Pancasila.
2.      Untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih jauh mengenai Pancasila sebagai Sistem Etika Politik.
3.      Untuk menambah literatur pengetahuan Pancasila dalam pengamalan kehidupan sehari-hari khususnya yang berkaitan dengan etika politik.
4.      Memahami, memperdalam, mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan etika politik yang sesuai dengan pengamalan Pancasila.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengantar
Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum,  norma moral, maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat pancasila terkandung di dalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis, dan komperhensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek praksis melainkan nilai-nilai yang bersifat mendasar.
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara maka nilai-nilai tersebut dijabarkan  dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi:
1.               Norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk.
2.               Norma hukum yaitu suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

B.     Pengertian nilai, norma, dan moral
1.      Pengerian Nilai
Nilai atau “Value” termasuk bidang kajian fisafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai. Di dalam Dictonary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia.   Pada hakikaknya nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada  suatu objek, bukan objek itu sendiri. Nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang “ tersembunyi” dibalik kenyataan-kenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya kenyatan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai ( wartrager).
                        Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan nilai yang dilakukan oleh subyek penilai tentu berhubungan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia sebagai subyek penilai, yaitu unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa ( kehendak) dan kepercayaan. Sesuatu itu bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, baik dan lain sebagainya.
                        Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang das Sollen, bukan das Sein, kita masuk kerohanian bidang makna normatif, bukan kognitif, kita masuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian, diantara keduanya, antara das Sollen dan das Sein, antara yang makna normatif dan kognitif, antara dunia ideal dan dunia real itu saling berhubungan atau saling berkaitan secara erat. Artinya bahwa das Sollen itu harus menjelma menjadi das Sein, yang ideal harus menjadi real yang bermakna normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta. ( Kodhi, 1989:21).

2.  Hirarki Nilai
 Terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai, hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian serta hirarki nilai. Misalnya kalangan matrealis memandang bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai material. Kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Pada hakikatnya segala sesutau itu bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia.   
               Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Menurut tinggi rendahnya nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan sebagai berikut:
1.      Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakan dan tidak mengenakkan ( die Wertreihe des Angenehmen und Unangehmen),  yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
2.      Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapatlah nilai-nilai yang penting bagi kehidupan ( Werte des vitalen Fuhlens) misalnya kesehatan, kesegaran jasmani, kesejahteraan umum.
3.      Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini ialah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
4.      Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapatlah modelitas nilai dari yang suci dan tak suci ( wermodalitat des Heiligen ung Unheiligen ). Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.
Walter G. Everet menggolong-golongkan nilai-nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu:
1.      Nilai-nilai ekonomis ( ditujukan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli).
2.      Nilai-nilai kejasmanian ( membantu pada kesehatan, efisiensi, dan keindahan dari kehidupan badan).
3.      Nilai-nilai hiburan ( nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan).
4.      Nilai-nilai sosial ( berasal dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan).
5.      Nilai-nilai watak ( keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan).
6.      Nilai-nilai estetis ( nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni).
7.      Nilai-nilai  intelektual ( nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran).
8.      Nilai-nilai keagamaan.
Notonegoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan material ragawi  manusia.
2.      Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau akivitas.
3.      Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerokhanian ini dapat dibedakan atas empat macam:
a.       Nilai kebenaran yang bersumber pada akal ( ratio, budi, cipta) manusia.
b.      Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan ( estetis, gevoel, rasa) manusia.
c.       Nilai kebaikan atau nilai moral, nilai yang bersumber pada unsur kehendak ( will, Wollen, Karsa) manusia.
d.      Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.

Masih banyak lagi cara pengelompokan nilai, misalnya seperti yang dilakukan N. Rescher, yaitu pembagian nilai berdasarkan pembawa nilai (trager), hakikat keuntungan yang diperoleh, dan hubungan antara pendukung nilai dan keuntungan yang diperoleh. Begitu pula dengan pengelompokan nilai menjadi nilai instrinsik dan ekstrinsik, nilai objektif dan nilai subjektif, nilai positif dan nilai negatif ( disvalue), dan sebagainya.
 Notonegoro berpendapat bahwa nilai-nilai pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital. Dengan demikian secara lengkap dari harmonis, baik nilai material, niali vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang sisitematika-hirarkis, yang dimulai dari sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai “dasar” sampai dengan sila keadilan social bagi seluruh Indonesia sebagai “tujuan” (Darmodiharjo, 1978).
Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya maka nilai-nilai dapat  dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu:

1.      Nilai Dasar
Walaupun nilai memiliki sifat abstrak artinya tidak dapat diamati melalui indra manusia, maupun dengan realisasinya nilai berkaitan dengan tingkah laku atau segala aspek kehidupan manusia yang bersifat nyata (praksis) namun demikian setiap nilai memiliki nilai dasar (dalam bahasa ilmiahnya disebut dasar onotologis), yaitu merupakan hakikat, esensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu misalnya hakikat tuhan, manusia atau segala sesuatu lainnya.
2.      Nilai Instrumental
Nilai instrumental adalah manivestasi dari nilai dasar, dan ini berupa pasal-pasal UUD 1945, perundang-undangan, ketetapan-ketetapan, dan peraturan-peraturan lainnya yang berfungsi menjadi pedoman, kaidah, petunjuk kepada masyarakat untuk mentaatinya.
3.      Nilai Praksis
Nilai praksis merupakan penjabaran dari instrumental dan nilai praksis ini berkaitan langsung dengan kehidupan nyata yaitu suatu kehidupan yang penuh diwarnai oleh pertimbangan-pertimbangantertentu

3. Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik didasari maupun tidak.
Nilai juga berkaitan dengan harapan, cita-cita, keinginan, dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah) manusia. Nilai dapat bersifat objektif maupun subjektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan oleh subjek (dalam hal ini manusia sebagai pendukung pokok nilai) dan bersifat objektif jika nilai tersebut telah melekat pada sesuatu terlepas dari penilaian manusia.
Wujud yang lebih kongkrit dari nilai adalah norma. Terdapat berbagai macam norma, dan norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya, Karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal misalnya penguasa atau penegak hokum.
Nilai dan norma senantiasa saling berkaitan dengan moral etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Hubungan antara moral dan etika sangat erat dan kadang kala kedua hal tersebut disamakan. Namun keduanya hal tersebut memiliki perbedaan. Moral yaitu merupakan suatu ajaran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sedangkan etika adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut.
Ajaran moral sebagai buku petunjuk tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan baik, sedangkan etika memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan teknologi mobil itu sendiri. Demikianlah hubungan yang sistematik antara nilai, norma dan moral yang pada gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praksis dalam kehidupan manusia.

C.     Pengertian Etika
Etika berasal dari kata Yunani etos, yang artinya sepadan dengan arti kata susila. Etika adalah sebuah ilmu, yaitu sebagai salah satu cabang ilmu filsafat yang mengajarkan bagaimana hidup secara arif atau bijaksana, sehingga filsafat etika juga dikenal sebagai filsafat moral. Jadi etika bukan sebuah ajaran, yang memberi ajaran tentang bagaimana seseorang harus berperilaku dalam kehidupannya secara bermoral. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa moralitas adalah petunjuk konkrit yang siap pakai tentang bagaimana harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai itu. Keduanya mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi orientasi bagaimana dan kemana harus melangkah dalam hidup ini.
 Moralitas juga bisa diartikan sebuah “pranata” seperti halnya agama, politik, bahasa dan sebagainya yang sudah ada sejak dahulu kala dan diwariskan secara turun temurun. Sebaliknya etika adalah sikap kritis setiap pribadi dan kelompok masyarakat dalam merealisasikan moralitas itu. Permasalahan penting dalam etika adalah saat dimana seseorang harus mengambil keputusan konkrit untuk menentukan satu di antara dua masalah yang sama-sama baiknya atau dua masalah yang sama tidak baiknya. Oleh karena itu, etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan , karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia untuk mempertanggungjawabkan tindakannya itu karena memang ada alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang kuat atas tindakannya itu.

D.    Pancasila sebagai Sistem Etika
Etika adalah ilmu yang an mempertanyakan tanggungjawab dan kewajiban manusia. Etika yang mempertanyakan prinsip-prinsip dasar dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup kehidupan khusus disebut etika khusus. Dalam etika khusus terdapat etika individual dan etika sosial. Etika individual yaitu etika yang mempertanyakan tanggungjawab dan kewajiban manusia sebagai makhluk individu terhadap dirinya sendiri. Sedangkan etika sosial adalah etika yang mempertanyakan tanggungjawab dan kewajiban manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai umat manusia. Dalam etika sosial terdapat sikap terdapat sikap terhadap sesama, etika keluarga, etika profesi, etika pendidikan, etika lingkungan hidup, dan etika politik, dan kritik ideologi.
Pancasila dikaitkan dengan sistem etika maka akan memberi jawaban mengenai kehidupan yang dicita-citakan, sebab di dalamnya terkandung prinsip terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Selain itu, Pancasila memberi jawaban bagaimana seharusnya manusia Indonesia bertanggungjawab dan berkewajiban sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan bernegara, selain etika kelompok bagaimana dengan sesama warga negara. Dalam hidup berkelompok, selain etika kelompok bagaimana warga negara Indonesia bergaul dalam hidupnya, akan muncul etika yang berkaitan dengan kerja atau profesi, seperti etika guru/ dosen Indonesia, etika jurnalistik/ wartawan Indonesia, dan sebagainya.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa Pancasila pun memiliki sistem etika seperti yang telah diuraikan, yaitu memiliki etika yang bersifat umum dan khusus; mengatur etika individual dan sosial, serta mengembangkan etika  yang berkaitan dengan lingkungan dan kerja atau profesi.





E.     Etika Politik dan Etika Pancasila
 Kebijaksanaan adalah syarat yang harus dimiliki untuk menuju kebahagiaan hidup. Karena itu, etika pada zaman itu bercorak eudomonistik ( bahagia).
Tampilnya ajaran Imanuel Kant pada abad ke-18, masalah etika bukan lagi masalah kebijaksanaan melainkan sudah merupakan kewajiban. Etika menurut Imanuel Kant adalah suatu kategori imperatif dalam arti bahwa etika bukanlah alat untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan menjadi tujuan di dalam dirinya sendiri. Artinya etika dipatuhi, dengan etika tersebut orang berbuat baik atau susila bukan untuk mencapai suatu tujuan melainkan untuk dan demi kebaikan atau kesusilaan itu sendiri.
Pengertian “politik” dalam proses pemakainnya dewasa ini terasa sudah sangat jauh menyimpang, atau mungkin sudah jauh lebih luas dari pengertian asalnya. Konsekuensi dari sinyalemen tersebut ialah timbulnya semacam prasangaka, sikap sinis, dan sebagainya.
Kaitan dengan Pancasila, maka etika politik dengan rasa etik tidak lain adalah Etika Pancasila. Pancasila sebagai etika politik bagi bangsa dan negara Indonesia adalah etika yang dijiwai oleh Falsafah negara Pancasila yang meliputi:
1.      Etika yang berjiwa Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung makna percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, patuh pada perintah Tuhan dan menjauhi Larangan-Nya.
2.      Etika yang berperikemanusiaan, mengandung makna menilai harkat kemanusiaan tetap lebih tinggi dari nilai kebendaan, tidak membenarkan adanya rasialisme, dan sikap membeda-bedakan manusia.
3.      Etika yang dijiwai oleh rasa Kesatuan Nasional, mengandung makna sifat bangsa Indonesia yanh Bhineka Tunggal Ika dan bangsa yang cinta persatuan.
4.        Etika yang berjiwa demokrasi, mengandung makna lambang persaudaraan manusia, sama-sama berhak akan kemerdekaan dan memperoleh kemerdekaan
5.      Etika yang berjiwa keadilaan sosial, mengandung makna manifestasi dari kehidupan masyarakat yang dilandasi oleh jiwa kemanusiaan, jiwa yang cinta kepada persatuan, jiwa yang bersifat demokrasi, dan semangat mau bekarja keras.


F.     Nilai-nilai Etika dalam Pancasila
Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia melakukan semua tindakan sehari-harinya baik dalam masyarakat maupun dalam bernegara. Etika mambantu manusia menunjukan nilai-nilai untuk membulatkan hati mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu dilakukan dan mengapa hal itu dilakukan.
Pancasila adalah etika bagi bangsa Indonesia dalam bermasyarakat dan bernegara. Adapun nilai-nilai etika yang terkandung dalam Pancasila tertuang dalam berbagai tatanan berikut ini:
1.      Tatanan bermasyarakat
2.      Tatanan bernegara
3.      Tatanan kerjasama antar negara atau tatanan luar negeri
4.      Tatanan pemerintah daerah
5.      Tatanan hidup beragama
6.      Tatanan bela negara
7.      Tatanan pendidikan
8.      Tatanan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat
9.      Tatanan hukum dan keikutsertaan dalam pemerintahan
10.  Tatanan kesejahteraan sosial

G.    Etika dalam Kehidupan Kenegaraan dan Hukum
Manusia dalam hidupnya tidak lepas dari manusia lain. Untuk itu, manusia perlu hidup berkelompok (zoon politicon) yang menampilkan insan berfikir sekaligus sebagai insan usaha ( homo economicus). Hal itu dilakukan selain sebagai kodratnya, dimaksudkan untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Bangsa Indonesia memilih bentuk ( organisasi) negara yang dinamakan Republik yang merupakan suatu pola yang mengutamakan pencapaian kepentingan umum ( respublica) dan bukan kepentingan perseorangan atau kepentingan golongan.
Pada umumnya, kegiatan kenegaraan kaitannya dengan hasil perjanjian bermasyarakat, orang beranggapan bahwa kegiatan kenegaraan meliputi:
1.      Membentuk hukum atau kewenangan legislatif.
2.      Menerapkan hukum atau kewenangan eksekutif.
3.      Menegakkan hukum atau kewenangan yudikatif.
Oleh karena itu, analisis kenegaraan tidak dapat dipisahkan dari analisis tata hukum.
               Konstitusi adalah suatu pola hidup berkelompok dalam organisasi negara, yang seringkali diperluas dalam organisasi apapun. Sebagai pola hidup berkelompok dalam organisasi negara maka konstitusi pada umumnya memuat:
1.      Hal-hal yang dianggap fundamental dalam berorganisasi.
2.      Hal-hal yang dianggap penting dalam hidup berkelompok oleh suatu bangsa, sekalipun oleh bangsa lain tidak dianggap demikian.
3.        Hal-hal yang dicita-citakan, sekalipun hal itu seolah-olah sulit untuk dicapai karena idealistik.

H.    Evaluasi Kritis Penerapan Etika dalam Kehidupan Kenegaraan
Dalam kaitan dengan nilai dan norma terdapat dua macam etika yaitu etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan pola perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidupnya. Sedangkan etika normatif ialah etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki atau dijalankan oleh manusia, dan tindakan apa yang seharusnya diambil.
Kaitan dengan penerapan etika dalam kehidupan kenegaraan, kajiannya tidak lepas dari sedikitnya empat kelompok masalah kenegaraan, yaitu tata organisasi, tata jabatan, tata hukum, dan tata nilai yang dicita-citakan oleh suatu negara. Penerapan etika dalam kehidupan kenegaraan, sorotannya tidak lepas dari fungsi etika bagi kehidupan kenegaraan. Fungsi etika bagi kehidupan kenegaraan adalah alat untuk mengatur tertib hidup kenegaraan memberikan pedoman yang merupakab batas gerak hak dan wewenang kenegaraan, menanamkan kesadaran kemanusiaan dalam bermasyarakat dan bernegara, mempelajari dan menjadikan objek tingkah laku manusia dalam hidup kenegaraan, memberi landasan fleksibilitas bergerak yang bersumber dari pengalaman.
I.       Etika Kehidupan Berbangsa
Sejak terjadinya krisis multidimensional, muncul ancaman yang serius terhadap persatuan bangsa dan terjadi kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang disebabkan oleh berbagai faktor baik yang berasal dari dalam negri maupun yang berasal dari luar negri. Arah kebijakan untuk membangun etika kehidupan berbangsa di implementasikan sebagai berikut:
1.      Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan kebudayaan luhur bangsa dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan fornal, informal, dan nonformal dan pemberian contoh keteladanan.
2.      Mengarahkan orientasi pendidikan yang mengutamakan aspek pengenalan menjadi pendidikan yang bersifat terpadu.
3.      Mengupayakan agar setiap program pembangunan dan keseluruhan aktivitas kehidupan berbangsa dijiwai oleh nilai-nilai etikad dan akhlak mulia.
Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedapankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggungjawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
Adapun uraian etika kehidupan berbangsa adalah sebagai berikut:
1.      Etika sosial dan budaya.
2.      Etika politik dan pemerintahan.
3.      Etika ekonomi dan bisnis.
4.      Etika penegakan hukum yang berkeadilan.
5.      Etika keilmuan.
6.      Etika lingkungan.   











BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN:
Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum,  norma moral, maupun norma kenegaraan lainnya.
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara maka nilai-nilai tersebut dijabarkan  dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi:
1.      Norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk.
2.      Norma hukum yaitu suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

SARAN:
            Sebagai calon penerus bangsa yang ber-intelektual seorang mahasiswa berkewajiban untuk mempelajari dan menjunjung tinggi pancasila, karena pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
           












Daftar Pustaka

Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Soegito. A. T. Dkk. 2005. Pendidikan Pancasila. Semarang: Pengembangan MKU/MKDK-LP3.
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Filsafat Pancasila. Jakarta: PT Pancuran Tujuh.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar